WAHANA KOMUNIKASI DAN SILATUROHMI TAMAN BACAAN MASYARAKAT TBM HARAPAN BANGSA KLEDUNG KRADENAN RT 02 RW 09 BANYUURIP PURWOREJO JAWA TENGAH 54171
Senin, 20 Januari 2014
DONGENG ANAK HEBAT BERSAMA USTADZ DEDEN HAMSA
TBM HARAPAN BANGSA dalam rangka launchingnya mengadakan acara DONGENG ANAK HEBAT bersama Ustadz Deden Hamsa dari Purworejo, acara digelar di Lapangan Futsalnya Mas Purnomo, Kledungkaradenan Banyuurip Purworejo, diikuti oleh seratusan anak anak PAUD/TK dan SD..... ramai sekali, full tawa tapi edukatif....
RUBRIK MOHAMMAD FAUZIL ADHIM : KEPADA-NYA KITA MEMOHON AMPUNAN
oleh: Mohammad Fauzil Adhim
TELAH berapa banyak dosa yang kita perbuat? Andaikata
dosa-dosa kita ditumpuk seperti pakaian kotor, setinggi apakah dosa kita? Usia
kita bertambah setiap hari, meski hakekatnya adalah hitungan mundur...
Berkurang setiap hari sampai akhirnya habis tak tersisa lagi.
Betapa sering hati merasa yakin bahwa pahala telah bertumpuk
atas amal-amal kita yang tak seberapa, tetapi lupa menghitung dosa. Kadang
tersadar sejenak bahwa dosa kita banyak, tetapi tak bersungguh-sungguh memohon
ampun kepada Allah Ta'ala. Padahal Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam saja
memohon ampun lebih dari 70 kali sehari. Ataukah kita merasa lebih bersih dari
pribadi mulia ini? Astaghfirullahal 'azim...
Jika setiap penyakit ada obatnya,
bukan obat dosa adalah istighfar? Inilah yang kita ingat dan renungi dari Abu
Dzar radhiyallahu 'anhu.
Mari sejenak kita renungi do'a
berikut ini:
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِيْ
ظُلْمًا كَثِيْرًا، وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ
مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
"Ya Allah, sesungguhnya aku
telah menganiaya diriku dan tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali
Engkau, karenanya, ampunilah dosa-dosaku dengan ampunan dari-Mu dan berilah
rahmat kepadaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Do'a dari HR. Bukhari & Muslim).
Sebanyak apa pun dosa kita, betapa
pun kita masih terus-menerus menganiaya diri sendiri, tetap ada harapan meraih
ampunan Allah Ta'ala. Selagi diri ini tak mempersekutukan Allah 'Azza wa Jalla,
maka sebesar apa pun dosa kita yang kita perbuat, pintu ampunan masih terbuka.
Maka, marilah kita telisik, adakah kesyirikan itu melekat dalam diri kita?
Selebihnya, adakah kesungguhan dalam memohon ampunan-Nya?
Mari sejenak kita renungi hadis ini:
يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا
دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَاكَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِي،
يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّماَءِ ثُمَّ
اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي
بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطاَياَ ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكْ بِي شَيْئاً
لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai Anak Adam, sesungguhnya kamu
berdo'a kepada-Ku dan memohon kepada-Ku, maka akan aku ampuni kamu, Aku tidak
peduli (berapapun banyaknya dan besarnya dosamu). Wahai Anak Adam seandainya
dosa-dosamu (sebanyak) awan di langit kemudian kamu minta ampun kepada-Ku
niscaya akan Aku ampuni kamu. Wahai Anak Adam sesungguhnya jika kamu datang
kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi kemudian kamu menemui-Ku dengan tidak
menyekutukan Aku sedikitpun maka akan Aku temui kamu dengan sepenuh itu pula
ampunan." (HR. Tirmidzi).
Semoga catatan ringkas ini bermanfaat
untuk mengingati dosa kita yang semakin bertumpuk sekaligus berharap ampunan
kepada Allah 'Azza wa Jalla seraya berusaha membersihkan tauhid di hati kita
dari kesyirikan. Marilah sejenak kita berdo'a seraya menghayati maknanya:
ﺍَﻟﻠّﻬُﻢَّ ﺍَﻧَّﺎﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ
ﺍَﻥْ ﻧُﺸْﺮِﻙَ ﺷَﻲْﺀًﺍ ﻧَﻌْﻠَﻤُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻟِﻤَﺎ ﻻَ ﻧَﻌْﻠَﻤُﻪ
"Ya Allah, kami berlindung
kepada-Mu dari kesyirikan yang kami ketahui dan kami mohon ampun atas apa-apa
yang tidak kami ketahui."*
Sumber :
http://www.hidayatullah.com/read/2013/05/17/147/kepada-nya-kita-memohon-ampun
JANGAN JADIKAN DUNIA JADI STANDAR KEHIDUPAN
Oleh: Herman Anas
SAAT ini kebanyakan umat Islam sudah
berbedah jauh dari cita-cita umat terdahulu. Kebahagiaan saat ini bukan lagi
saat membela agama Islam atau bertujuan keridhaan Allah. Tetapi bahagianya saat
mendapatkan banyaknya harta dan tahta yang diinginkan. Harta sudah menjadi
standar kebahagiaan Muslim, meskipun mereka tidak menyampaikan atau menuliskan
cita-citanya diatas kertas. Cukup jelas buktinya dengan melihat
kecenderungannya yang sangat tinggi pada dunia. Dengan berbagai alasan yang
seakan-akan kebaikan, dia kejar dunia.
“Kalau saya kaya, saya bisa
beribadah dengan tenang dan bisa menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam.
Saya bisa membahagiakan orangtua dan bisa banyak bersedekah.”
Padahal sudah banyak sekali contoh
bahwa hal tersebut adalah amal angan-angan yang belum tentu dia lakukan pada
saat kaya nanti.
Ibarat kisah Tsa’labah yang
bercita-cita ingin kaya dan minta di doakan kepada Rasulullah. Di dalam
pikirannya, “Ketika kaya nanti ingin lebih rajin beribadah.” Padahal Allah
sudah menakar kemampuan seseorang dengan firmannya, “Allah tidak membani kepada
seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”.
Justru pada saat dikabulkan doa
Rasulullah karena memang doa seorang rasul maqbul, Tsa’labah bukanlah tambah
taat, tapi justru lupa ibadah kepada Allah karena sibuk mengurusi kambing yang
semakin banyak hingga merasa sempit madinah dan pergi ke suatu lembah.
Zaman sekarang, kejadian ini juga
banyak dijumpai dengan berbagai macam fakta yang berbeda tapi pada intinya sama
yakni menjadikan dunia sebagai tujuan dan standar kebahagiaan. Banyak sekali
anak-anak kaum Muslimin mulai kecil sudah diarahkan cita-citanya jadi pilot,
dokter, guru dll. Tapi tidak pernah cita-cita mereka dikaitkan dengan agama
(sekulerisme). Hingga pilot, dokter dan guru sudah menjadi tujuan terakhir.
Padahal Rasul bersabdaانما الاعمال
بالنيات pekerjaan (aktifitas) tergantung pada niatnya (tujuan).
وعن رسول الله صلى الله عليه وسلم :
كم من عمل يتصور بصورة اعمال الد نيا ويصير بحسن النية من اعمال الاخرة . وكم من
عمل يتصور بصورة اعمال الاخرة ثم يصير من اعمال الد نيا بسوء النية
Dari Nabi: “Banyak amal perbuatan
yang berbentuk amal dunia lalu menjadi amal akherat, sebab niat yang bagus. Dan
banyak juga amal perbuatan yang kelihatannya amal akhirat namun karena niat
yang buruk maka menjadi amal dunia.”
Mereka tidak tau tujuan yang lebih
tinggi dan menjadikan bernilai akan aktifitasnya. Menjadi pilot, dokter dan
guru sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah kalau tidak ada niat karena
Allah atau untuk kemuliaan Islam dan kaum mulimin. Aktifitas tersebut hanyalah
aktifitas dunia belaka, tak ubahnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang
non Muslim. Karena sekali lagi, dalam Islam tidak dinilai dari banyak prestasi
yang didapat. Tapi, prestasi tersebut harus berlandaskan keimanan, tidak
melanggar syara’ dan tujuan yang benar.
Kemuliaan seorang Muslim dinilai
dari taqwanya (keterikatannya terhdap hukum syara’) bukan yang lain. Sehingga
siapapun bisa mulia tanpa memandang kaya-miskin, tanpa memandang level profesi
dan tanpa memandang nasab asalkan dia terikat dalam setiap aktifitasnya
terhadap hukum syara’ (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan). Si
miskin dia bisa sabar dan taat dengan kemiskinannya sedangkan si kaya dia bisa
syukur dan taat dengan kekayaannya. SemuaNya bernilai pahala di sisi Allah.
Kadar ketaqwaannyalah yang membedakan di antara keduanya.
Sebanyak apapun prestasi yang diraih
jika tidak berdasarkan iman, melanggar syara’ dan tujuan salah, maka di sisi
Allah tiada nilai. Setinggi apapun prestasi orang non Muslim (orang kafir) maka
tiada nilai di sisi Allah. Setinggi apapun prestasi Muslim jika melanggar
syara’ dan salah tujuan, maka juga tidak mempunyai nilai di sisi Allah.
Sehingga hari-hari kaum Muslimin
senantiasa dikelilingi kemuliaan saat dia terikat dengan hukum syara’. Mulai
dari hal kecil hingga yang besar. Dia Makan tidak hanya sekedar makan, tapi
untuk menguatkan ibadah, menguatkan shalat, belajar, membantu orangtua dan
bekerja untuk menafkahi istri. Membeli baju, tidak untuk gaya-gayaan atau pamer
karena sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah, tapi untuk menutupi auratnya
sehingga tiada kerugiaan dia bekerja dan membelanjakan hartanya karena semua
demi tunduk kepada Allah.
Menuntut ilmu dalam rangka memenuhi
perintah Allah atau sebagaimana dalam kitab Ta’lim dalam rangka ikhlas
mengharap ridho Alloh, mensyukuri terhadap nikmat akal, mencari kebahagiaan di
akhirat, menghidupkan agama, menghilangkan kebodohan, dan melestarikan Islam.
Sehingga aktifitas menuntut ilmunya bernilai pahala di sisi Allah. Keluarnya
keringat dan capeknya dinilai pahala di sisi Allah dan termasuk orang
dimudahkan jalannya ke surge oleh Allah sebagaimana dalam hadits. Boleh
menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendapatkan kedudukan di masyarakat yang
dengannya digunakan dalam rangka amar makruf nahi munkar, menjalankan kebenaran
dan menegakkan agama Allah. Begitupun juga orang bekerja, jika hanya untuk
menumpuk-numpuk kekayaan tiada nilai di sisi Allah. Hanya mendapatkan rasa
capek dan tumpukan uang.
Saat ada yang mengancam terhadap untuk
merusak Islam dan kaum Muslimin maka mereka berada digarda terdepan untuk
membelanya apapun konsekuesinya sekalipun harta, keluarga, jiwa dan raganya.
Sehingga para sahabat justru senang di medan perang dan ingin mati syahid.
Di zaman tabi’in Khalifah Umar bin
Abdul Aziz sibuk membukukan hadits demi menjaga dari kepentingan dan pemalsuan
hadits. Semangat ini tidak akan diperoleh bagi yang tujuan hidupnya dunia dan
standar kebahagiaannya ketika mendapatkan tumpukan-tumpukan dunia.
Bisa dipastikan orang yang mempunyai
tujuan dunia tersebut jika hidup di zaman para sahabat maka akan menjadi orang
munafik yang takut untuk berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.
Dunia yakni harta, tahta dan keluarga mereka tinggalkan ketika ada perintah
hijrah dari Allah. Karena bagi mereka dunia diletakkan di tangan tidak sampai
masuk ke hati.
Tentu saat ini, perjuangan untuk
kemuliaan Islam bisa saja berbeda dengan yang dulu. Karena kebanyakan
negeri-negeri kaum Muslimin mengalami kemunduran berfikir yang sangat jauh dari
Islam. Mereka diserang pemikirannya agar jauh dari Islam, bahkan kaum Muslimin
sendiri tanpa sadar sudah menyerang agamanya sendiri. Mereka diserang pemikiran
dengan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) kapitalisme. Sehingga tolak
ukurnya, kesenangan dan kesuksesannya mendapatkan tumpukan materi tanpa peduli
agama mebolehkan atau melarangnya. Inilah yang terjadi juga pada kaum Muslimin
dulu pada saat Perang Uhud. Mereka tidak tunduk kepada perintah Rasulullah dan
menginginkan dunia (harta) yakni rampasan perang. Sepatutnya bagi umat Islam
untuk mengokohkan keimanan dan menjadikan akhirat sebagai tujuan di atas
segala-galanya. Dunia yang sementara jangan sampai menjadi penyakit dirinya.
Sehingga apapun profesinya umat bisa melakukan perang pemikiran terhadap para
musuh-musuh kaum Muslimin demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.
Kesimpulannya, orang beriman yang
berjuang (cita-cita) untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin dalam hidupnya,
tapi tidak terikat dengan hukum syara’ melaksanakan perintah Allah dan rasulNya
(taqwa) dalam aktifitasnya (tujuan hidup, hobi, profesi dll) serta cinta dunia,
maka tak ubahnya hanya mengulang kegagalan-kegagalan perang Uhud di masa
modern.*
Penulis adalah alumnus Pondok
Pesantren Annuqayah Sumenep Madura dan Ketua Tim Litbang Takmir Masjid
Al-Hikmah dan Lembaga Dakwah Kampus Universitas Jember
Sumber :
www.hidayatullah.com/read/28589/15/05/2013/jangan-jadikan-dunia-jadi-standar-kebahagiaan.html
TAHUN BARU 1435 H : Momentum Perpindahan dari Kehidupan Jahiliyyah menuju Kehidupan Islam.
Oleh
: Adi Victoria (Penulis Buku & Aktivis HTI Kota Samarinda)
Salah satu perbedaan antara umat
Islam dengan umat selain Islam adalah terkait penanggalan tahun. Jika umat lain
memiliki penanggalan tahun yakni seperti tahun masehi untuk agama masehi (agama
nasrani,red), tahun baru Saka untuk umat hindu, maka umat Islam pun memiliki
kalender tahunan sendiri yakni yang dikenal dengan kalender Hijriah sebagai
tahun baru islam dengan 1 Muharramsebagai awal tahun baru
islam /tahun hijriyah.
Menarik kalau kita melihat bagaimana
sahabat memilih penamaan Hijriah pada kalender Islam tersebut yang menjadi
tahun baru islam . Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah
Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah
ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari
berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana
Wata’ala: ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya
empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin
itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (TQS : At
Taubah(9):36).
Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan
Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah
ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa.
Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun
gajah. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar
r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat
dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga
membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu
itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman
bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin
Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan
berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan
pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali
bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari
Makkah ke Yatstrib (Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan
ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada
masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam
kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku
pada masa itu di wilayah Arab. [1]
Sangat menarik kalau kita kaji dan
telaah kenapa Ali ra mengusulkan agar momentum yang digunakan adalah saat Nabi
Muhammad saw hijrah dari Kota Makkah ke Madinah yang kemudian di sepakati oleh
seluruh sahabat sebagaitahun baru islam yang pertama.
Secara bahasa, hijrah adalah berarti berpindah
tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha :hijrah
adalah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam.
[2]
Peristiwa Hijrah itu
sendiri kalau dikaji secara mendalam, maka akan kita temui ada beberapa hal
yang menarik di balik Hijrah itu sendiri. Salah satunya sebagaimana apa yang
dikatakan Umar ra saat itu yakni : “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan
kebatilan” (HR Ibn Hajar).
Kota Makkah kala itu merupakan suatu
wilayah atau negeri yang di dalamnya berlaku kehidupan kufur jahiliyah,
sedangkan Madinah adalah suatu negeri dimana di dalamnya terdapat kehidupan
yang Islami, berbanding terbalik dengan kehidupan yang berlangsung di Makkah.
Ini berkat usaha dari Mush’ab bin ‘Umair yang di utus oleh Rasulullah saw untuk
ke Yastrib (nama Madinah waktu itu) guna menyampaikan Islam, dan alhamdulillah,
kurang lebih selama dua tahun Mush’ab bin ‘Umair berhasil menjadikan penduduk
Yastrib memeluk Islam termasuk dua tokoh suku besar di sana yakni Sa‘ad
bin Muadz bin An-Nu’man dari Suku Aus
dan Sa‘ad bin Ubadah dari suku Khazraj.
Setelah itu para sahabat
kemudian hijrah ke Madinah, sedangkan Rasulullah saw belum hijrah
kecuali setelah Allah karena Hijrah
Nabi Muhammad SAW ke Madinah bukan karena pengusiran kaum Quraisy,
melainkan semata-mata karena perintah Allah SWT.
Maka seharusnya, sebagai muslim yang
baik, kita seharusnya betul-betul memahami apa makna hakiki di balik
peristiwa Hijrah yang kemudian dijadikan sebagai penanggalan tahun
untuk umat Islam yakni tahun Hijriah. Bukan hanya sebatas perayaan
seremonial setiap akan memasuki tanggal 1 Muharram sebagai pertanda
mulai masuknya tahun baru Islam.
Umat Islam seharusnya melakukan
muhasabah dan berupaya agar perpindahan tahun baru islam itu menuju
perpindahan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik tentunya yang
di maksud di sini adalah kehidupan yang dibangun dengan berpijak kepada syariat
Islam. Sehingga kehidupan di tahun yang baru lebih baik dari kehidupan tahun
sebelumnya.
Relevansinya di kehidupan sekarang
dalam konteks Hijrah adalah hijrahnya seorang muslim dari kehidupan
sistem sekuler menuju kepada sistem Islam. Jika tidak, maka yang terjadi
hanyalah perpindahan tahun saja (atau hanya memasukitahun baru islam tanpa
ada perubahan riil) tanpa diikuti dengan perpindahan kehidupan. Karena
kehidupan diatur oleh sistem yang dijalankan di negeri tersebut, maka jika
ingin memiliki kehidupan yang baik, harus menuju kepada sistem yang baik, dan
sistem yang baik adalah yang bersumber dari dzat yang maha baik Dia-lah Allah
swt. Dan Islam adalah sistem kehidupan yang telah allah swt turunkan kepada
Nabi Muhammad saw, untuk mengatur seluruh hubungan manusia, baik hubungan
manusia dengan penciptanya yakni dalam perkara aqidah dan ibadah, kemudian
hubungan manusia dengan sesama nya dalam perkara muamalah dan ‘uqubat, serta
hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri yakni dalam perkara akhlaq,
makanan, pakaian dan minuman.
Sistem tersebut adalah sistem
Khilafah Islam, sebuah sistem yang berfungsi untuk menjalankan hukum syariat
Islam. Sistem pemerintahan yang diwariskan oleh rasulullah saw kepada para
penerusnya yakni para khalifah. Dimana dengan sistem khilafah tersebut kurang
lebih selama 13 abad lamanya umat Islam berhasil menjadi umat yang terbaik
(khoiru ummah) sebagaimana yang dipredikatkan oleh allah swr dalam firmanNya :
” Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (TQS Ali Imron :
110)
Namun
sayang, predikat sebagai khoiru ummah tersebut sekarang hanyalah sebuah
predikat tanpa bukti yang nyata. Kalau kita lakukan pengamatan sekilas saja,
tentu kita melihat bahwa umat ini bukan lagi menjadi khoiru ummah, melainkan
umat yang dihinakan, bahkan disebut sebagai dunia ketiga. Umat ini dihinakan
oleh sistem kapitalis-sekuler yang dibawa oleh barat. Sehingga seluruh aspek
kehidupan umat islam di atus oleh kehidupan sekuler tersebut.
Oleh
karena nya, tahun baru Islam yakni tahun baru Hijriah, hendaknya
menjadi momentum hijrah agar seluruh kaum muslim dari berbagai
lapisan masyarakat menjadikan tahun hijriah sebagai tahun untuk
berusaha berpindah menuju ke kehidupan yang baik, dari kehidupan jahiliyah
menuju kepada kehidupan islam. Dari sistem kapitalis-sekuler menuju kepada
sistem Islam yakni sistem Khilafah. Selamat menyambut tahun baru islam , 1
Muharram 1435 H dengan ikut berjuang melanjutkan kehidupan islam
dengan menegakkan khilafah islamiyah yang insya Allah akan tegak berdiri .
Wallahu a’alam[].
Catatan
kaki :
[1].
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Hijriyah
[2].
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah,
II/276
Sumber :
http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/tahun-baru-1435-h-momentum-perpindahan-dari-kehidupan-jahiliyyah-menuju-kepada-kehidupan-islam.htm#.Unh2qFOO6eM
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri yang Diunggulkan
-
GIM dan KL 2017 di 19 dan 34 Kabupaten/Kota Upaya untuk meningkatkan minat baca dan me...