Senin, 20 Januari 2014

DONGENG ANAK HEBAT BERSAMA USTADZ DEDEN HAMSA

TBM HARAPAN BANGSA dalam rangka launchingnya mengadakan acara DONGENG ANAK HEBAT bersama Ustadz Deden Hamsa dari Purworejo, acara digelar di Lapangan Futsalnya Mas Purnomo, Kledungkaradenan Banyuurip Purworejo, diikuti oleh seratusan anak anak PAUD/TK dan SD..... ramai sekali, full tawa tapi edukatif....




RUBRIK MOHAMMAD FAUZIL ADHIM : KEPADA-NYA KITA MEMOHON AMPUNAN



oleh: Mohammad Fauzil Adhim
TELAH berapa banyak dosa yang kita perbuat? Andaikata dosa-dosa kita ditumpuk seperti pakaian kotor, setinggi apakah dosa kita? Usia kita bertambah setiap hari, meski hakekatnya adalah hitungan mundur... Berkurang setiap hari sampai akhirnya habis tak tersisa lagi.
Betapa sering hati merasa yakin bahwa pahala telah bertumpuk atas amal-amal kita yang tak seberapa, tetapi lupa menghitung dosa. Kadang tersadar sejenak bahwa dosa kita banyak, tetapi tak bersungguh-sungguh memohon ampun kepada Allah Ta'ala. Padahal Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam saja memohon ampun lebih dari 70 kali sehari. Ataukah kita merasa lebih bersih dari pribadi mulia ini? Astaghfirullahal 'azim...
Jika setiap penyakit ada obatnya, bukan obat dosa adalah istighfar? Inilah yang kita ingat dan renungi dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu.
Mari sejenak kita renungi do'a berikut ini:
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْمًا كَثِيْرًا، وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
"Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dan tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, karenanya, ampunilah dosa-dosaku dengan ampunan dari-Mu dan berilah rahmat kepadaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Do'a dari HR. Bukhari & Muslim).
Sebanyak apa pun dosa kita, betapa pun kita masih terus-menerus menganiaya diri sendiri, tetap ada harapan meraih ampunan Allah Ta'ala. Selagi diri ini tak mempersekutukan Allah 'Azza wa Jalla, maka sebesar apa pun dosa kita yang kita perbuat, pintu ampunan masih terbuka. Maka, marilah kita telisik, adakah kesyirikan itu melekat dalam diri kita? Selebihnya, adakah kesungguhan dalam memohon ampunan-Nya?
Mari sejenak kita renungi hadis ini:
يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَاكَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّماَءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ، يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطاَياَ ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكْ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai Anak Adam, sesungguhnya kamu berdo'a kepada-Ku dan memohon kepada-Ku, maka akan aku ampuni kamu, Aku tidak peduli (berapapun banyaknya dan besarnya dosamu). Wahai Anak Adam seandainya dosa-dosamu (sebanyak) awan di langit kemudian kamu minta ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni kamu. Wahai Anak Adam sesungguhnya jika kamu datang kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi kemudian kamu menemui-Ku dengan tidak menyekutukan Aku sedikitpun maka akan Aku temui kamu dengan sepenuh itu pula ampunan." (HR. Tirmidzi).
Semoga catatan ringkas ini bermanfaat untuk mengingati dosa kita yang semakin bertumpuk sekaligus berharap ampunan kepada Allah 'Azza wa Jalla seraya berusaha membersihkan tauhid di hati kita dari kesyirikan. Marilah sejenak kita berdo'a seraya menghayati maknanya:
‏ﺍَﻟﻠّﻬُﻢَّ ﺍَﻧَّﺎﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﺍَﻥْ ﻧُﺸْﺮِﻙَ ﺷَﻲْﺀًﺍ ﻧَﻌْﻠَﻤُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻟِﻤَﺎ ﻻَ ﻧَﻌْﻠَﻤُﻪ
"Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kesyirikan yang kami ketahui dan kami mohon ampun atas apa-apa yang tidak kami ketahui."*
Sumber : http://www.hidayatullah.com/read/2013/05/17/147/kepada-nya-kita-memohon-ampun

JANGAN JADIKAN DUNIA JADI STANDAR KEHIDUPAN



Oleh: Herman Anas
SAAT ini kebanyakan umat Islam sudah berbedah jauh dari cita-cita umat terdahulu. Kebahagiaan saat ini bukan lagi saat membela agama Islam atau bertujuan keridhaan Allah. Tetapi bahagianya saat mendapatkan banyaknya harta dan tahta yang diinginkan. Harta sudah menjadi standar kebahagiaan Muslim, meskipun mereka tidak menyampaikan atau menuliskan cita-citanya diatas kertas. Cukup jelas buktinya dengan melihat kecenderungannya yang sangat tinggi pada dunia. Dengan berbagai alasan yang seakan-akan kebaikan, dia kejar dunia.
“Kalau saya kaya, saya bisa beribadah dengan tenang dan bisa menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam. Saya bisa membahagiakan orangtua dan bisa banyak bersedekah.”
Padahal sudah banyak sekali contoh bahwa hal tersebut adalah amal angan-angan yang belum tentu dia lakukan pada saat kaya nanti.
Ibarat kisah Tsa’labah yang bercita-cita ingin kaya dan minta di doakan kepada Rasulullah. Di dalam pikirannya, “Ketika kaya nanti ingin lebih rajin beribadah.” Padahal Allah sudah menakar kemampuan seseorang dengan firmannya, “Allah tidak membani kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”.
Justru pada saat dikabulkan doa Rasulullah karena memang doa seorang rasul maqbul, Tsa’labah bukanlah tambah taat, tapi justru lupa ibadah kepada Allah karena sibuk mengurusi kambing yang semakin banyak hingga merasa sempit madinah dan pergi ke suatu lembah.
Zaman sekarang, kejadian ini juga banyak dijumpai dengan berbagai macam fakta yang berbeda tapi pada intinya sama yakni menjadikan dunia sebagai tujuan dan standar kebahagiaan. Banyak sekali anak-anak kaum Muslimin mulai kecil sudah diarahkan cita-citanya jadi pilot, dokter, guru dll. Tapi tidak pernah cita-cita mereka dikaitkan dengan agama (sekulerisme). Hingga pilot, dokter dan guru sudah menjadi tujuan terakhir.
Padahal Rasul bersabdaانما الاعمال بالنيات pekerjaan (aktifitas) tergantung pada niatnya (tujuan).
وعن رسول الله صلى الله عليه وسلم : كم من عمل يتصور بصورة اعمال الد نيا ويصير بحسن النية من اعمال الاخرة . وكم من عمل يتصور بصورة اعمال الاخرة ثم يصير من اعمال الد نيا بسوء النية
Dari Nabi: “Banyak amal perbuatan yang berbentuk amal dunia lalu menjadi amal akherat, sebab niat yang bagus. Dan banyak juga amal perbuatan yang kelihatannya amal akhirat namun karena niat yang buruk maka menjadi amal dunia.”
Mereka tidak tau tujuan yang lebih tinggi dan menjadikan bernilai akan aktifitasnya. Menjadi pilot, dokter dan guru sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah kalau tidak ada niat karena Allah atau untuk kemuliaan Islam dan kaum mulimin. Aktifitas tersebut hanyalah aktifitas dunia belaka, tak ubahnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang non Muslim. Karena sekali lagi, dalam Islam tidak dinilai dari banyak prestasi yang didapat. Tapi, prestasi tersebut harus berlandaskan keimanan, tidak melanggar syara’ dan tujuan yang benar.
Kemuliaan seorang Muslim dinilai dari taqwanya (keterikatannya terhdap hukum syara’) bukan yang lain. Sehingga siapapun bisa mulia tanpa memandang kaya-miskin, tanpa memandang level profesi dan tanpa memandang nasab asalkan dia terikat dalam setiap aktifitasnya terhadap hukum syara’ (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan). Si miskin dia bisa sabar dan taat dengan kemiskinannya sedangkan si kaya dia bisa syukur dan taat dengan kekayaannya. SemuaNya bernilai pahala di sisi Allah. Kadar ketaqwaannyalah yang membedakan di antara keduanya.
Sebanyak apapun prestasi yang diraih jika tidak berdasarkan iman, melanggar syara’ dan tujuan salah, maka di sisi Allah tiada nilai. Setinggi apapun prestasi orang non Muslim (orang kafir) maka tiada nilai di sisi Allah. Setinggi apapun prestasi Muslim jika melanggar syara’ dan salah tujuan, maka juga tidak mempunyai nilai di sisi Allah.
Sehingga hari-hari kaum Muslimin senantiasa dikelilingi kemuliaan saat dia terikat dengan hukum syara’. Mulai dari hal kecil hingga yang besar. Dia Makan tidak hanya sekedar makan, tapi untuk menguatkan ibadah, menguatkan shalat, belajar, membantu orangtua dan bekerja untuk menafkahi istri. Membeli baju, tidak untuk gaya-gayaan atau pamer karena sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah, tapi untuk menutupi auratnya sehingga tiada kerugiaan dia bekerja dan membelanjakan hartanya karena semua demi tunduk kepada Allah.
Menuntut ilmu dalam rangka memenuhi perintah Allah atau sebagaimana dalam kitab Ta’lim dalam rangka ikhlas mengharap ridho Alloh, mensyukuri terhadap nikmat akal, mencari kebahagiaan di akhirat, menghidupkan agama, menghilangkan kebodohan, dan melestarikan Islam. Sehingga aktifitas menuntut ilmunya bernilai pahala di sisi Allah. Keluarnya keringat dan capeknya dinilai pahala di sisi Allah dan termasuk orang dimudahkan jalannya ke surge oleh Allah sebagaimana dalam hadits. Boleh menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendapatkan kedudukan di masyarakat yang dengannya digunakan dalam rangka amar makruf nahi munkar, menjalankan kebenaran dan menegakkan agama Allah. Begitupun juga orang bekerja, jika hanya untuk menumpuk-numpuk kekayaan tiada nilai di sisi Allah. Hanya mendapatkan rasa capek dan tumpukan uang.
Saat ada yang mengancam terhadap untuk merusak Islam dan kaum Muslimin maka mereka berada digarda terdepan untuk membelanya apapun konsekuesinya sekalipun harta, keluarga, jiwa dan raganya. Sehingga para sahabat justru senang di medan perang dan ingin mati syahid.
Di zaman tabi’in Khalifah Umar bin Abdul Aziz sibuk membukukan hadits demi menjaga dari kepentingan dan pemalsuan hadits. Semangat ini tidak akan diperoleh bagi yang tujuan hidupnya dunia dan standar kebahagiaannya ketika mendapatkan tumpukan-tumpukan dunia.
Bisa dipastikan orang yang mempunyai tujuan dunia tersebut jika hidup di zaman para sahabat maka akan menjadi orang munafik yang takut untuk berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Dunia yakni harta, tahta dan keluarga mereka tinggalkan ketika ada perintah hijrah dari Allah. Karena bagi mereka dunia diletakkan di tangan tidak sampai masuk ke hati.
Tentu saat ini, perjuangan untuk kemuliaan Islam bisa saja berbeda dengan yang dulu. Karena kebanyakan negeri-negeri kaum Muslimin mengalami kemunduran berfikir yang sangat jauh dari Islam. Mereka diserang pemikirannya agar jauh dari Islam, bahkan kaum Muslimin sendiri tanpa sadar sudah menyerang agamanya sendiri. Mereka diserang pemikiran dengan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) kapitalisme. Sehingga tolak ukurnya, kesenangan dan kesuksesannya mendapatkan tumpukan materi tanpa peduli agama mebolehkan atau melarangnya. Inilah yang terjadi juga pada kaum Muslimin dulu pada saat Perang Uhud. Mereka tidak tunduk kepada perintah Rasulullah dan menginginkan dunia (harta) yakni rampasan perang. Sepatutnya bagi umat Islam untuk mengokohkan keimanan dan menjadikan akhirat sebagai tujuan di atas segala-galanya. Dunia yang sementara jangan sampai menjadi penyakit dirinya. Sehingga apapun profesinya umat bisa melakukan perang pemikiran terhadap para musuh-musuh kaum Muslimin demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.
Kesimpulannya, orang beriman yang berjuang (cita-cita) untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin dalam hidupnya, tapi tidak terikat dengan hukum syara’ melaksanakan perintah Allah dan rasulNya (taqwa) dalam aktifitasnya (tujuan hidup, hobi, profesi dll) serta cinta dunia, maka tak ubahnya hanya mengulang kegagalan-kegagalan perang Uhud di masa modern.*
Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura dan Ketua Tim Litbang Takmir Masjid Al-Hikmah dan Lembaga Dakwah Kampus Universitas Jember 

Sumber : www.hidayatullah.com/read/28589/15/05/2013/jangan-jadikan-dunia-jadi-standar-kebahagiaan.html

TAHUN BARU 1435 H : Momentum Perpindahan dari Kehidupan Jahiliyyah menuju Kehidupan Islam.



Oleh : Adi Victoria (Penulis Buku & Aktivis HTI Kota Samarinda)

Salah satu perbedaan antara umat Islam dengan umat selain Islam adalah terkait penanggalan tahun. Jika umat lain memiliki penanggalan tahun yakni seperti tahun masehi untuk agama masehi (agama nasrani,red), tahun baru Saka untuk umat hindu, maka umat Islam pun memiliki kalender tahunan sendiri yakni yang dikenal dengan kalender Hijriah sebagai tahun baru islam dengan 1 Muharramsebagai awal tahun baru islam /tahun hijriyah.
Menarik kalau kita melihat bagaimana sahabat memilih penamaan Hijriah pada kalender Islam tersebut yang menjadi tahun baru islam . Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wata’ala: ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (TQS : At Taubah(9):36).
Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab. [1]
Sangat menarik kalau kita kaji dan telaah kenapa Ali ra mengusulkan agar momentum yang digunakan adalah saat Nabi Muhammad saw hijrah dari Kota Makkah ke Madinah yang kemudian di sepakati oleh seluruh sahabat sebagaitahun baru islam yang pertama.
Secara bahasa, hijrah adalah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha :hijrah adalah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. [2]
Peristiwa Hijrah itu sendiri kalau dikaji secara mendalam, maka akan kita temui ada beberapa hal yang menarik di balik Hijrah itu sendiri. Salah satunya sebagaimana apa yang dikatakan Umar ra saat itu yakni : “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan” (HR Ibn Hajar).
Kota Makkah kala itu merupakan suatu wilayah atau negeri yang di dalamnya berlaku kehidupan kufur jahiliyah, sedangkan Madinah adalah suatu negeri dimana di dalamnya terdapat kehidupan yang Islami, berbanding terbalik dengan kehidupan yang berlangsung di Makkah. Ini berkat usaha dari Mush’ab bin ‘Umair yang di utus oleh Rasulullah saw untuk ke Yastrib (nama Madinah waktu itu) guna menyampaikan Islam, dan alhamdulillah, kurang lebih selama dua tahun Mush’ab bin ‘Umair berhasil menjadikan penduduk Yastrib memeluk Islam termasuk dua tokoh suku besar di sana yakni Saad bin Muadz bin An-Nu’man  dari  Suku Aus dan Saad bin Ubadah dari suku Khazraj.
Setelah itu para sahabat kemudian hijrah ke Madinah, sedangkan Rasulullah saw belum hijrah kecuali setelah Allah karena Hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah bukan karena pengusiran kaum Quraisy, melainkan semata-mata karena perintah Allah SWT.
Maka seharusnya, sebagai muslim yang baik, kita seharusnya betul-betul memahami apa makna hakiki di balik peristiwa Hijrah yang kemudian dijadikan sebagai penanggalan tahun untuk umat Islam yakni tahun Hijriah. Bukan hanya sebatas perayaan seremonial setiap akan memasuki tanggal 1 Muharram sebagai pertanda mulai masuknya tahun baru Islam.
Umat Islam seharusnya melakukan muhasabah dan  berupaya agar perpindahan tahun baru islam  itu menuju perpindahan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik tentunya yang di maksud di sini adalah kehidupan yang dibangun dengan berpijak kepada syariat Islam. Sehingga kehidupan di tahun yang baru lebih baik dari kehidupan  tahun sebelumnya.
Relevansinya di kehidupan sekarang dalam konteks Hijrah adalah hijrahnya seorang muslim dari kehidupan sistem sekuler menuju kepada sistem Islam. Jika tidak, maka yang terjadi hanyalah perpindahan tahun saja (atau hanya memasukitahun baru islam tanpa ada perubahan riil)  tanpa diikuti dengan perpindahan kehidupan. Karena kehidupan diatur oleh sistem yang dijalankan di negeri tersebut, maka jika ingin memiliki kehidupan yang baik, harus menuju kepada sistem yang baik, dan sistem yang baik adalah yang bersumber dari dzat yang maha baik Dia-lah Allah swt. Dan Islam adalah sistem kehidupan yang telah allah swt turunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk mengatur seluruh hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan penciptanya yakni dalam perkara aqidah dan ibadah, kemudian hubungan manusia dengan sesama nya dalam perkara muamalah dan ‘uqubat, serta hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri yakni dalam perkara akhlaq, makanan, pakaian dan minuman.
Sistem tersebut adalah sistem Khilafah Islam, sebuah sistem yang berfungsi untuk menjalankan hukum syariat Islam. Sistem pemerintahan yang diwariskan oleh rasulullah saw kepada para penerusnya yakni para khalifah. Dimana dengan sistem khilafah tersebut kurang lebih selama 13 abad lamanya umat Islam berhasil menjadi umat yang terbaik (khoiru ummah) sebagaimana yang dipredikatkan oleh allah swr dalam firmanNya :
 Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (TQS Ali Imron : 110)
Namun sayang, predikat sebagai khoiru ummah tersebut sekarang hanyalah sebuah predikat tanpa bukti yang nyata. Kalau kita lakukan pengamatan sekilas saja, tentu kita melihat bahwa umat ini bukan lagi menjadi khoiru ummah, melainkan umat yang dihinakan, bahkan disebut sebagai dunia ketiga. Umat ini dihinakan oleh sistem kapitalis-sekuler yang dibawa oleh barat. Sehingga seluruh aspek kehidupan umat islam di atus oleh kehidupan sekuler tersebut.
Oleh karena nya, tahun baru Islam yakni tahun baru Hijriah, hendaknya menjadi momentum hijrah agar seluruh kaum muslim dari berbagai lapisan masyarakat menjadikan tahun hijriah sebagai tahun untuk berusaha berpindah menuju ke kehidupan yang baik, dari kehidupan jahiliyah menuju kepada kehidupan islam. Dari sistem kapitalis-sekuler menuju kepada sistem Islam yakni sistem Khilafah. Selamat menyambut tahun baru islam , 1 Muharram 1435 H dengan ikut berjuang melanjutkan kehidupan islam  dengan menegakkan khilafah islamiyah yang insya Allah akan tegak berdiri . Wallahu a’alam[].
Catatan kaki :
[1]. http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Hijriyah
[2]. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276

Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/tahun-baru-1435-h-momentum-perpindahan-dari-kehidupan-jahiliyyah-menuju-kepada-kehidupan-islam.htm#.Unh2qFOO6eM

Entri yang Diunggulkan

WAJAH BARU TBM HARAPAN BANGSA