Oleh: Herman Anas
SAAT ini kebanyakan umat Islam sudah
berbedah jauh dari cita-cita umat terdahulu. Kebahagiaan saat ini bukan lagi
saat membela agama Islam atau bertujuan keridhaan Allah. Tetapi bahagianya saat
mendapatkan banyaknya harta dan tahta yang diinginkan. Harta sudah menjadi
standar kebahagiaan Muslim, meskipun mereka tidak menyampaikan atau menuliskan
cita-citanya diatas kertas. Cukup jelas buktinya dengan melihat
kecenderungannya yang sangat tinggi pada dunia. Dengan berbagai alasan yang
seakan-akan kebaikan, dia kejar dunia.
“Kalau saya kaya, saya bisa
beribadah dengan tenang dan bisa menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam.
Saya bisa membahagiakan orangtua dan bisa banyak bersedekah.”
Padahal sudah banyak sekali contoh
bahwa hal tersebut adalah amal angan-angan yang belum tentu dia lakukan pada
saat kaya nanti.
Ibarat kisah Tsa’labah yang
bercita-cita ingin kaya dan minta di doakan kepada Rasulullah. Di dalam
pikirannya, “Ketika kaya nanti ingin lebih rajin beribadah.” Padahal Allah
sudah menakar kemampuan seseorang dengan firmannya, “Allah tidak membani kepada
seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”.
Justru pada saat dikabulkan doa
Rasulullah karena memang doa seorang rasul maqbul, Tsa’labah bukanlah tambah
taat, tapi justru lupa ibadah kepada Allah karena sibuk mengurusi kambing yang
semakin banyak hingga merasa sempit madinah dan pergi ke suatu lembah.
Zaman sekarang, kejadian ini juga
banyak dijumpai dengan berbagai macam fakta yang berbeda tapi pada intinya sama
yakni menjadikan dunia sebagai tujuan dan standar kebahagiaan. Banyak sekali
anak-anak kaum Muslimin mulai kecil sudah diarahkan cita-citanya jadi pilot,
dokter, guru dll. Tapi tidak pernah cita-cita mereka dikaitkan dengan agama
(sekulerisme). Hingga pilot, dokter dan guru sudah menjadi tujuan terakhir.
Padahal Rasul bersabdaانما الاعمال
بالنيات pekerjaan (aktifitas) tergantung pada niatnya (tujuan).
وعن رسول الله صلى الله عليه وسلم :
كم من عمل يتصور بصورة اعمال الد نيا ويصير بحسن النية من اعمال الاخرة . وكم من
عمل يتصور بصورة اعمال الاخرة ثم يصير من اعمال الد نيا بسوء النية
Dari Nabi: “Banyak amal perbuatan
yang berbentuk amal dunia lalu menjadi amal akherat, sebab niat yang bagus. Dan
banyak juga amal perbuatan yang kelihatannya amal akhirat namun karena niat
yang buruk maka menjadi amal dunia.”
Mereka tidak tau tujuan yang lebih
tinggi dan menjadikan bernilai akan aktifitasnya. Menjadi pilot, dokter dan
guru sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah kalau tidak ada niat karena
Allah atau untuk kemuliaan Islam dan kaum mulimin. Aktifitas tersebut hanyalah
aktifitas dunia belaka, tak ubahnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang
non Muslim. Karena sekali lagi, dalam Islam tidak dinilai dari banyak prestasi
yang didapat. Tapi, prestasi tersebut harus berlandaskan keimanan, tidak
melanggar syara’ dan tujuan yang benar.
Kemuliaan seorang Muslim dinilai
dari taqwanya (keterikatannya terhdap hukum syara’) bukan yang lain. Sehingga
siapapun bisa mulia tanpa memandang kaya-miskin, tanpa memandang level profesi
dan tanpa memandang nasab asalkan dia terikat dalam setiap aktifitasnya
terhadap hukum syara’ (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan). Si
miskin dia bisa sabar dan taat dengan kemiskinannya sedangkan si kaya dia bisa
syukur dan taat dengan kekayaannya. SemuaNya bernilai pahala di sisi Allah.
Kadar ketaqwaannyalah yang membedakan di antara keduanya.
Sebanyak apapun prestasi yang diraih
jika tidak berdasarkan iman, melanggar syara’ dan tujuan salah, maka di sisi
Allah tiada nilai. Setinggi apapun prestasi orang non Muslim (orang kafir) maka
tiada nilai di sisi Allah. Setinggi apapun prestasi Muslim jika melanggar
syara’ dan salah tujuan, maka juga tidak mempunyai nilai di sisi Allah.
Sehingga hari-hari kaum Muslimin
senantiasa dikelilingi kemuliaan saat dia terikat dengan hukum syara’. Mulai
dari hal kecil hingga yang besar. Dia Makan tidak hanya sekedar makan, tapi
untuk menguatkan ibadah, menguatkan shalat, belajar, membantu orangtua dan
bekerja untuk menafkahi istri. Membeli baju, tidak untuk gaya-gayaan atau pamer
karena sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah, tapi untuk menutupi auratnya
sehingga tiada kerugiaan dia bekerja dan membelanjakan hartanya karena semua
demi tunduk kepada Allah.
Menuntut ilmu dalam rangka memenuhi
perintah Allah atau sebagaimana dalam kitab Ta’lim dalam rangka ikhlas
mengharap ridho Alloh, mensyukuri terhadap nikmat akal, mencari kebahagiaan di
akhirat, menghidupkan agama, menghilangkan kebodohan, dan melestarikan Islam.
Sehingga aktifitas menuntut ilmunya bernilai pahala di sisi Allah. Keluarnya
keringat dan capeknya dinilai pahala di sisi Allah dan termasuk orang
dimudahkan jalannya ke surge oleh Allah sebagaimana dalam hadits. Boleh
menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendapatkan kedudukan di masyarakat yang
dengannya digunakan dalam rangka amar makruf nahi munkar, menjalankan kebenaran
dan menegakkan agama Allah. Begitupun juga orang bekerja, jika hanya untuk
menumpuk-numpuk kekayaan tiada nilai di sisi Allah. Hanya mendapatkan rasa
capek dan tumpukan uang.
Saat ada yang mengancam terhadap untuk
merusak Islam dan kaum Muslimin maka mereka berada digarda terdepan untuk
membelanya apapun konsekuesinya sekalipun harta, keluarga, jiwa dan raganya.
Sehingga para sahabat justru senang di medan perang dan ingin mati syahid.
Di zaman tabi’in Khalifah Umar bin
Abdul Aziz sibuk membukukan hadits demi menjaga dari kepentingan dan pemalsuan
hadits. Semangat ini tidak akan diperoleh bagi yang tujuan hidupnya dunia dan
standar kebahagiaannya ketika mendapatkan tumpukan-tumpukan dunia.
Bisa dipastikan orang yang mempunyai
tujuan dunia tersebut jika hidup di zaman para sahabat maka akan menjadi orang
munafik yang takut untuk berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.
Dunia yakni harta, tahta dan keluarga mereka tinggalkan ketika ada perintah
hijrah dari Allah. Karena bagi mereka dunia diletakkan di tangan tidak sampai
masuk ke hati.
Tentu saat ini, perjuangan untuk
kemuliaan Islam bisa saja berbeda dengan yang dulu. Karena kebanyakan
negeri-negeri kaum Muslimin mengalami kemunduran berfikir yang sangat jauh dari
Islam. Mereka diserang pemikirannya agar jauh dari Islam, bahkan kaum Muslimin
sendiri tanpa sadar sudah menyerang agamanya sendiri. Mereka diserang pemikiran
dengan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) kapitalisme. Sehingga tolak
ukurnya, kesenangan dan kesuksesannya mendapatkan tumpukan materi tanpa peduli
agama mebolehkan atau melarangnya. Inilah yang terjadi juga pada kaum Muslimin
dulu pada saat Perang Uhud. Mereka tidak tunduk kepada perintah Rasulullah dan
menginginkan dunia (harta) yakni rampasan perang. Sepatutnya bagi umat Islam
untuk mengokohkan keimanan dan menjadikan akhirat sebagai tujuan di atas
segala-galanya. Dunia yang sementara jangan sampai menjadi penyakit dirinya.
Sehingga apapun profesinya umat bisa melakukan perang pemikiran terhadap para
musuh-musuh kaum Muslimin demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.
Kesimpulannya, orang beriman yang
berjuang (cita-cita) untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin dalam hidupnya,
tapi tidak terikat dengan hukum syara’ melaksanakan perintah Allah dan rasulNya
(taqwa) dalam aktifitasnya (tujuan hidup, hobi, profesi dll) serta cinta dunia,
maka tak ubahnya hanya mengulang kegagalan-kegagalan perang Uhud di masa
modern.*
Penulis adalah alumnus Pondok
Pesantren Annuqayah Sumenep Madura dan Ketua Tim Litbang Takmir Masjid
Al-Hikmah dan Lembaga Dakwah Kampus Universitas Jember
Sumber :
www.hidayatullah.com/read/28589/15/05/2013/jangan-jadikan-dunia-jadi-standar-kebahagiaan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar