Selasa, 26 Agustus 2014

LIVING BOOK (from Facebook Ardie Tyasma)



Living Books
Curhat <9>
Saya membayang kehadiran TBM kini persis dengan awal maraknya PAUD, yang hampir setiap orang, yayasan, atau instansi seakan berlomba hendak membentuknya. Dari yang bentuk sederhana hingga bangunan mewah nan megah. Yang kecil sebatas pemanfaatan ruang tamu, teras rumah atau garasi hingga yang berhektar tanah bak area outbond. Ada TBM yang dikelola mandiri oleh individu masyarakat, oleh sebab kecintaannya yang mendalam atas buku dan pemberdayaannya. Tidak sedikit pula yayasan sosial, lembaga belajar, hingga para anggota dewan turut mendirikan TBM di area publik.
Ihwal kegiatan yang diselenggarakan TBM sebagai penunjang layanan pinjam buku bervariasi. Aneka ragam lomba untuk menarik simpati dan minat baca masyarakat sering diadakan. Diskusi, bedah buku, dan kelas menulis seolah telah jadi menu utama hampir di setiap TBM. Umumnya para pengelola TBM tidak sekadar berlaku sebagai pustakawan, melainkan juga berperan sebagai teman bicara di waktu senggang, teman diskusi tentang banyak hal persoalan, hingga sebagai pembicara dalam pelatihan-pelatihan.
Di tengah semarak TBM, ada satu hal yang terlupakan, namun bagiku penting untuk jadi perhatian guna menengarai kelatahan. TBM yang didedikasikan sebagai wahana belajar seumur hidup, masih jauh dari ideal. Saya menyoroti para penyelenggara dan pengelola TBM dalam menyajikan bahan bacaan masih terjebak pada kuantitas dan variasi tema. Memang TBM musti menyediakan buku yang banyak sekaligus bervariasi agar wawasan pemustaka tidak monoton yang bakal mematikan selera keingintahuannya. Tapi yang luput dari perhatian para penyelenggara maupun pengelola adalah ranah kualitas. Bukankah sebagai pemustaka tidak sekadar membutuhkan pengetahuan yang tersaji dalam bentuk tips, trik, dan teknik keterampilan saja, melainkan yang bermutu dan menggerakkan ide kreatif yang diungkapkan dengan bahasa yang indah juga musti dihadirkan. TBM masih gemar berburu buku-buku “buangan” penerbit, buku murah dan usang yang diobral di pasar murah.
Buku-buku berkelas tinggi karya para pujangga semisal Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja atau Y.B. Mangunwijaya dan yang lainnya jarang kita dapatkan di rak buku TBM. Buku-buku Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad juga jarang ditemui. Pemikiran-pemikiran luar biasa dari cendekiawan seperti Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Djohan Effendi, atau Ignas Kleden seolah tak tersentuh oleh pengelola TBM. Buku-buku dongeng klasik terjemahan dari karya Hans Christian Andersen, Rudyard Kipling musti jadi bahan bacaan utama anak-anak. Sepengetahuan saya, buku-buku tersebut tersaji dengan kualitas bahasa, dan gagasan yang hebat. Buku yang sanggup mengantar pembaca pada ide-ide atau wawasan baru.
Yang demikian itu disebut living books. Buku-buku yang menyajikan pemikiran, gagasan, dan wawasan yang menghidupkan imajinasi. Ide-ide yang menggugah dan membangun karakter seseorang. Gagasan yang membentuk kepribadian seseorang menjadi pribadi luhur.
Namun hingga kini mayoritas TBM masih berkutat pada jumlah belum melangkah ke jenjang mutu buku. TBM belum menjadikan dirinya sebagai tempat perjamuan ide, pergulatan pemikiran-pemikiran besar dari para pemikir besar. TBM masih berdiri dalam zona nyaman sebagai lumbung yang menyediakan beragam buku, namun masih miskin gagasan hidup.
TBM yang telah menyajikan menu kegiatan seperti diskusi, bedah buku, reading group, dan kelas menulis, tinggal selangkah untuk menjadi arena perjamuan ide-ide hidup, yaitu kehadiran living books sebagai ganti buku-buku semisal diktat yang kering inspirasi. Diganti disini maksudnya bukan untuk ditinggalkan, melainkan digeser perannya tidak lagi menjadi sumber utama dan kebanggan TBM. Sumber bacaan utama TBM selanjutnya adalah yang tergolong living books.
Saya bayangin dalam hal ini seorang Pengelola TBM adalah pembaca hebat buku-buku berkelas karya para pemikir hebat. Nah...kan....
-----20/4-'14, 17:13-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

WAJAH BARU TBM HARAPAN BANGSA